Untuk menjadi kaya ada 3 cara yang bisa digunakan, dan
Anda bisa pilih salah satunya, pertama Anda terlahir dari keluarga kaya
sehingga secara otomatis Anda menjadi orang kaya, atau bila tidak pilihlah cara
kedua yaitu nikahi orang kaya hingga Anda bisa ikut jadi kaya, tapi cara kedua
ini biasanya membutuhkan modal wajah cantik dan ganteng, lalu bila kedua cara
tersebut tak bisa dan bukan takdir Anda maka pakailah cara terakhir atau cara
ketiga yaitu bekerja keras dibarengi berpikir cerdas, karena bekerja keras saja
tidaklah cukup.
Cara ketiga inilah yang ditempuh oleh Zhang Xin wanita
yang kini menjadi salah satu wanita terkaya di dunia asal Cina, siapa sangka
seorang Zhang Xin yang dulunya hanya seorang biasa-biasa tapi kini menjadi
orang yang luar biasa, bagaimana kisah selengkapnya mari kita simak bersama
ceritanya yang dikutip ruanghati.com dari Vivanews berikut ini.
Namanya begitu populer di China. Namun siapa sangka, ratu
properti ini masa kecilnya penuh dengan kesengsaraan. Zhang Xin, sang ratu
properti, menghabiskan masa kecilnya di lantai lima, rumah susun di pinggiran
Beijing. Makan nasi ransum dengan mangkuk besi bersama anak-anak pekerja keras
China yang lain.
Saat remaja, ia sempat menjadi buruh pabrik di Hong Kong.
Bekerja 12 jam dengan shift. Saat kerja inilah, sedikit demi sedit, Zhang bisa
mengumpulkan uang. Pada usia 20, Zhang telah memiliki uang cukup, dan
memutuskan hijrah ke Inggris. Dia mendapatkan bea siswa di Sussex. Kemudian,
dia melanjutkan di Cambridge untuk menyelesaikan gelar master.
Kini, dua dekade setelah dia bekerja keras, Zhang bisa
menatap dari lantai atas salah satu bangunan paling bergaya dan bergengsi di
Beijing. Itulah bangunan miliknya, yang dibangun dari keringatnya sendiri.
Zhang pun menjadi salah satu wanita terkaya dunia.
Baru-baru ini majalah Forbes menurunkan profil 10 perempuan miliarder dunia yang kekayaannya dari keringat sendiri. Bukan warisan maupun hibah. Salah satunya Zhang, yang memiliki kekayaan US$2 miliar atau sekitar Rp18 triliun.
Baru-baru ini majalah Forbes menurunkan profil 10 perempuan miliarder dunia yang kekayaannya dari keringat sendiri. Bukan warisan maupun hibah. Salah satunya Zhang, yang memiliki kekayaan US$2 miliar atau sekitar Rp18 triliun.
Di bawah bendera SOHO, Zhang berhasil membangun kerajaan
bisnis properti bersama suaminya. Dia berhasil mengubah cakrawala dari rumah
beton kotor yang ia tinggali hingga 1970, menjadi gedung yang indah dan
futuristik. “Pembangunan ini bertahap dan begitu lama,” kata dia kepada The
Sunday Telegraph.
“Saya teringat ketika kami sedang berjuang membayar gaji
dan tagihan. Bagaimana pun perusahaan harus terus bergerak meskipun dengan utang.
Dengan kontrol biaya yang ketat, kami pun secara bertahap bisa mendapat
keuntungan.” Meski telah sukses, dia tidak mau memamerkan kekayaannya.
Penampilannya sangat sederhana. Bila menggunakan make up, tidak begitu kentara.
Begitu juga dengan perhiasan, juga tidak berlebih.
Ditanya mobil apa yang dia pakai, dia ragu-ragu. Namun
akhirnya menjawab. “Oh, itu Lexus. Saya tidak tahu modelnya.” Bahkan dengan
triliunan rupiah kekayaan yang ia punya, Zhang tetap mempertahankan sikap
hemat. Bila menggunakan pesawat, dia akan menolak menggunakan kelas satu.
Padahal bagi dia, sangat mudah terbang ke mana pun dengan tiket paling mahal
sekali pun.
“Ini bukan soal keterjangkauan, ini tentang hati nurani,”
katanya. “Kelas bisnis ini sudah cukup nyaman.” Zhang yang sekarang berusia 45,
lahir di China. Tumbuh dewasa selama paruh kedua dari Revolusi Kebudayaan
(1966-1976). Dia merupakan putri generasi ketiga imigran Tionghoa yang pindah
ke Burma dan kembali lagi ke Beijing pada 1950. Keluarga ini tinggal di sebuah
bangunan utilitarian. Ibunya bekerja sebagai penerjemah resmi membantu
menyebarluaskan pernyataan Deng Xiaoping dan Zhou Enlai. Saat sekolah, setiap
siang Zhang pulang untuk makan nasi ransum dari kantin gedung itu.
“Hanya ada tiga jenis makanan, semua cukup buruk,” kenang
dia. “Kami masing-masing memegang mangkuk nasi dan dibawa ke kantin. Petugas
membagikan makanan dari wadah yang sangat besar,” kata dia sambil menunjuk foto
pekerja konstruksi yang sedang mengantre makan di salah satu proyek
bangunannya. “Rasanya seperti itu, hanya jauh lebih buruk.”
Saat itu, Zhang mengatakan, Beijing adalah kota muram.
“Bangunan-bangunan itu kelabu, semua orang berpakaian abu-abu. Kami tidak
pernah melihat langit. Tidak ada gagasan dari langit biru untuk sebuah
kemakmuran,” katanya. “Semua orang berpakaian sama, makan sama, perbedaan
antara satu orang dengan lain sangat kecil. Mungkin sama seperti perbedaan satu
rambut dengan rambut lain di kepala Anda,” ujar Zhang.
Bekerja sebagai buruh pabrik di Hong Kong baginya tidak
jauh lebih baik. “Itu mengerikan,” katanya. Setelah “melarikan diri” ke
Inggris, pintu Zhang mulai terbuka. Dengan gelar master ekonomi pembangunan di
tangannya, ia mendapat pekerjaan pertamanya di Goldman Sachs.
Pada 1994 ia kembali ke China, tergoda
seperti ekspatriat lainnya yang terpikat oleh tawaran zona ekonomi khusus dan
reformasi ekonomi. Seorang teman menyarankan Zhang memulai bisnis properti. Pan
Shiyi namanya. Dia yang datang dari keluarga lebih miskin dari Zhang, memandang
masa depan bisnis properti sangat bagus.
Empat hari kemudian, Pan mengusulkan semua
ide kepada perempuan itu. Lalu mereka mendirikan SOHO. Bersama Pan yang
kemudian menjadi suaminya, Zhang memulai bisnisnya pada 2007. Perusahaan ini
sempat kolaps dengan utang US$1,65 miliar, namun kemudian sedikit demi sedikit
utangnya bisa direstrukturisasi.
Post A Comment:
0 comments: