Hidangan laut, terutama ikan, kaya asam lemak omega 3. Sayang, di balik gizi yang ditawarkan, ikan yang berasal dari lingkungan tercemar juga menyimpan endapan bahan kimia penyebab kanker. Alih-alih bikin tubuh sehat, ikan bisa menyebabkan gangguan kesehatan bila dikonsumsi secara serampangan.

Tapi, tak perlu menghindari konsumsi sumber protein satu ini. Yang perlu dilakukan adalah mencari tahu apakah ikan yang akan dibeli merupakan hasil budidaya atau tangkapan dari laut. Lebih baik memilih hidangan laut atau ikan yang memiliki kontaminan paling rendah.

Saat membeli, pilih ikan dengan ukuran yang lebih kecil, rendah lemak, dan tidak hidup di laut dalam. Beberapa contoh ikan yang cukup aman dikonsumsi antara lain herring, makarel, teri, sarden, kerang-kerangan, salmon liar Alaska, udang, tilapia, dan ikan Bass Laut Hitam.

Jenis ikan yang harus dikurangi atau dihindari, antara lain: ikan tuna besar, ikan pari, ikan pedang, ikan hiu, makarel raja, marlin, dan ikan yang ditangkap di perairan dalam. Bahan kimia berbahaya seperti, Metyl Mercury dan Polychlorinated Biphenyls (PCB), terkonsentrasi di perairan dalam.

Ikan tuna putih, terutama yang kalengan, cenderung memiliki konsentrasi merkuri yang lebih tinggi daripada tuna segar berukuran kecil. Porsi makanan laut yang ideal untuk dewasa sekitar 4-6 ons, dan untuk anak 2-3 ons.

Meskipun tidak dapat mengurangi tingkat merkuri dalam ikan, ada beberapa trik selama mengolah hidangan agar lebih sehat.

- Buang kulit, lemak dan daging warna gelap di sepanjang bagian atas atau tengah fillet.

- Buang mustard dari kepiting dan hati (tomaley) dari lobster.

- Panggang atau steam hidangan laut dengan panci yang memungkinkan lemak menitik jauh dari ikan. Gunakan panci yang sangat panas atau kukusan. Hindari atau kurangi menggoreng ikan.

- Hindari saus ikan yang terbuat dari lemak atau cairan ikan dalam masakan.

- Buang organ dalam ikan sebelum diolah.

Sementara itu, menurut Dr. Budianto Komari, Sp.THT, spesialis onkologi THT di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta, konsumsi ikan asin secara terus-menerus dalam jumlah banyak dan dalam jangka waktu lama, rupanya bisa menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya kanker nasofaring.

Peringatan itu mengemuka dalam seminar yang rutin diselenggarakan oleh RS Dharmais. Dalam seminar bertajuk Kanker Nasofaring, Diagnosis dan Pengobatan, Dr. Budianto mengungkapkan bahwa ikan asin merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus Epstein-Barr sehingga menimbulkan kanker nasofaring.

Nasofaring adalah daerah tersembunyi yang terletak di belakang hidung berbentuk kubus. Bagian depan nasofaring berbatasan dengan rongga hidung, bagian atas berbatasan dengan dasar tengkorak, serta bagian bawah merupakan langit-langit dan rongga mulut.

Virus Epstein-Barr adalah virus yang berperan penting dalam timbulnya kanker nasofaring. Virus yang hidup bebas di udara ini bisa masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di nasofaring tanpa menimbulkan gejala. Dikatakan, nitrosamin yang merupakan salah satu metabolisme dalam ikan asin merupakan mediator dari virus Epstein-Barr tersebut.

Sebenarnya bukan hanya ikan asin, makanan yang mengandung protein dan diawetkan juga bisa menjadi mediator. Namun, sejauh ini ikan asin yang lebih banyak diteliti.

"Angka kejadian kanker nasofaring memang cukup tinggi pada golongan nelayan tradisional di Hong Kong yang mengonsumsi ikan asin," kata Dr Budianto.

Selain ikan asin, mediator lain yang juga bisa ikut menimbulkan kanker nasofaring adalah lingkungan dengan ventilasi yang kurang baik, pembakaran dupa, kontak dengan zat karsinogen seperti pada pekerja pabrik bahan kimia, ras, dan keturunan, serta radang kronis nasofaring. Ras mongoloid, disebut Dr. Budianto, merupakan faktor dominan untuk timbulnya kanker tersebut.

Kanker nasofaring, yang lebih banyak ditemui pada laki-laki, merupakan tumor ganas. Kanker nasofaring merupakan tumor ganas pada daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia.

Sekitar 70 persen dari benjolan di leher bagian atas adalah kanker nasofaring. Berdasarkan data laboratorium patologi anatomi, tumor ganas nasofaring menduduki peringkat keempat dari seluruh keganasan setelah kanker rahim, payudara dan kulit.

Sayangnya, sekitar 60-95 persen penderita kanker nasofaring datang pada stadium III-IV. Bila hal ini terjadi, terapi radiasi sebagai treatment of choice akan lebih baik jika dikombinasi dengan kemoterapi.

Gejala kanker nasofaring biasanya tergantung pada derajat penyebaran dan lokasi tumbuhnya tumor. Gejala yang sering ditemukan adalah pembesaran kelenjar di bagian leher. Gejala tidak khas seperti hidung tersumbat, ingus, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, kelumpuhan pada otot mata, penglihatan ganda, kelumpuhan otot lidah juga merupakan gejala yang ditemui pada penderita kanker nasofaring.

Bila hasil uji klinis dan biopsi menunjukkan hasil positif, pasien harus diterapi. Sebenarnya penanda tumor sudah bisa dilakukan. Caranya, dengan melakukan pemeriksaan imunoglobulin A (IgA), anti-Early Antigen (anti-EA) dan anti- Viral Caption Antigen (anti-VGA). Meski sudah ada penanda tumor, uji klinis dan biopsi tetap harus dilakukan untuk memastikan hasilnya.

Banyak orang yang suka makan ikan salmon, terutama kaum wanita. Selain rasa dagingnya yang lezat, hasil penelitian menunjukkan daging ikan salmon banyak mengandung asam lemak Omega 3 yang dapat membantu menghalangi pengaruh tumor yang menyebabkan kanker, khususnya kanker payudara.

Karena kandungan yang terdapat pada ikan salmon begitu luar biasa menjadikan ikan salmon banyak diburu orang. Sehingga tak mengherankan bilamana harga ikan salmon sangat tinggi. Di beberapa negara di Eropa dan Amerika Utara, ikan salmon dibudidayakan. Namun baru-baru ini sebuah laporan cukup mencengangkan. Ikan salmon yang berasal dari hasil budidaya justru disinyalir dapat menyebabkan kanker bagi manusia yang mengkonsumsinya! Loh kok bisa?

Menurut penelitian yang diteritkan dalam jurnal Science disebutkan ikan salmon yang bisa menyebabkan kanker bukan ikan salmon yang berasal dari perairan lepas melainkan ikan salmon hasil dari budidaya. Masih dari laporan tersebut, ikan salmon hasil budidaya mengandung diozin. Diozin yang terdapat pada daging ikan bersifat carsinogenic, bahan yang dapat memicu terjadinya kanker pada manusia.

Dalam penelitiannya terhadap daging ikan salmon penjuru dunia, ternyata tidak hanya terdapat di negara Eropa Utara saja, beberapa negara di AMerikan Utara dan Chile, juga ditemukan kasus serupa. Rata-rata dioxin yang terdapat pada ikan salmon mengandung diozin 11 persen lebih tinggi dari batas normal yang ditetapkan oleh Badan Administrasi Makanan dan Obat.

Tercemar Karena Makanannya Sudah Tercemar

Seperti diketahui, ikan salmon hasil budidaya, setiap harinya selalu diberi makan berupa campuran minyak ikan dan daging yang dibuat dari beberapa spesies ikan laut. Ironisnya, ikan-ikan tersebut hidup di lingkungannya yang sudah tercemar polusi ataupun limbah. Karena itu beberapa peternak ikan di Amerika Serikat, Kanada dan Chile secara perlahan sudah mulai mengganti minyak ikan salmon untuk campuran makanan dengan kacang kedelai dan canola oil.

Bagi Peneliti Senior pada Puslitbang Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan, Dr Gindo Simanjuntak, MPH, ikan salmon terkontaminasi diozin bukan hal yang aneh. Sebab, katanya, tidak hanya ikan salmon saja, hampir semua makanan kaleng sangat potensial mengandung diozin.

Dr. Gindo menjelaskan bahwa hampir setiap proses pembakaran, apakah saat ketika membakar kayu, plastik atau bensin, akan selalu mengeluarkan diozin. Diozin memang sangat berbahaya bagi tubuh manusia, makanya seringkali jika bahan-bahan itu dibakar, mata terasa pedih. Itu karena diozin-nya keluar. "Hampir semua yang dibakar maupun terbakar mengeluarkan diozin.

Berkaitan ikan salmon yang mengandung diozin, kata Dr Gindo, ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Kemungkinan pertama, kata Dr. Gindo, bisa terjadi pada saat proses pembuatan makanan kaleng dari bahan ikan salmon. Saat pemrosesan dilakukan, terjadi panas yang menyebabkan timbulnya diozin. "Sepertinya yang saya jelaskan, setiap pemanasan atau proses pembakaran akan selalu keluar diozin.

Kemungkinan diozin dari kaleng yang dipanaskan. Karena terlalu lama dipanaskan mengakibatkan keluar diozin," ucap Dr Gindo. "Dari bumbu-bumbu yang digunakan ataupun daging ikan apalagi lemaknya yang dipanaskan, akan terjadi penguraian zat organiknya dan mengeluarkan diozin" imbuhnya.

Kemungkinan lain, kata Gindo ikan salmon tersebut memang sudah tercemar dioxin sejak ikan-ikan salmon tersebut masih berada dalam masa pembibitan seperti yang dikemukakan dalam penelitian tersebut di atas. "Sebelum ikan salmon dilepas ke laut, ikan-ikan tersebut baisanya ditangkarkan dahulu di suatu tempat. Pada saat pembibitan tersebut, ikan-ikan salmon yang dibudidayakan tersebut kemungkinan diberi pakan makanan yang sudah tercemar diozin. Umpannya pakan yang diberi campuran ikan yang bila dipanaskan akan lebih mudah mengeluarkan diozin daripada daging ikan," jelas Dr. Gindo. "Diozin akhirnya akan menumpuk dalam daging ikan-ikan salmon," lanjut Dr. Gindo lagi.

Kasusnya serupa dengan di Jepang dan Eropa

Kasus ikan salmon dapat menyebakan kanker, mengingatkan Dr. Gindo akan kejadian yang terjadi di Eropa dan Jepang beberapa waktu lalu. Di Eropa, kata Dr Gindo, pernah ditarik dari peredaran produk-produk makanan ternak untuk sapi, ayam dan babi akibat tercemar dengan bahan bakar solar, zat yang sangat tinggi kadar diozinnya. Perusahaan tersebut kemudian ditutup. Penarikan produk tsb, menurut Dr. Gindo, merupakan langkah yang tepat. "Kita takutkan, hal ini akan meracuni ke manusia yang mengkonsumsi hasil ternak yang sudah terkontaminasi. Sebab diozin akan menumpuk di daging ternak tsb, jika termakan manusia akan bersifat carsinogenic dan menimbulkan kanker atau tumor jahat," jelas Dr Gindo.

Keracunan kimiawi karena makan ikan yang paling popular terjadi di Jepang. Musibah terjadi tahun 60-an dan terjadi di sekitar Teluk Minamata. Waktu itu, kata Dr Gindo, ada sebuah pabrik pengolahan minyak yang diproses untuk produksi bahan bakarnya menggunakan merkuri. Merkurinya kemudian dibuang ke sungai hingga ke Teluk Minamata. Tragisnya, kebiaaan orang Jepang yang selalu makan ikan tidak dimatangkan seperti dalam membuat sashimi. Akhirnya masyarakat yang tinggal di sekitar teluk.

Minamata dan terlanjur mengkonsumsi daging ikan dari perairan tersebut menjadi keracunan. "Akibat mengkonsumsi ikan yang sudah tercemar merkuri, terjadi kerusakan pada sel-sel otak seperti gerakan-gerakannya tidak terkoordinasi, mata juling dan sulit makan," ucap Dr. Gindo.

Kejadian di Jepang sempat menimbulkan heboh yang sangat luar biasa. Mengingat, pabrik tersebut beberapa sahamnya dimiliki oleh seorang pejabat pemerintah Jepang. Perusahaan tersebut lalu dipaksa harus membayar kompensasi ganti rugi kepada seluruh penduduk Minamata yang menderita sampai orang tersebut meninggal dunia. "Pabrik tersebut akhirnya pailit akibat uangnya habis digunakan untuk membayar uang kompensasi," jelas Dr. Gindo.

Karena dioxin sangat berbahaya, Badan Kesehatan Dunia (WHO) pernah menganjurkan untuk melarang penggunaan plastik untuk membungkus makanan. sebab dikuatirkan, masih ada sisa-sisa dioxin yang ada dalam kantong plastik tersebut yang bisa menyebabkan kanker. "Orang maunya serba simple. Daun pisang diganti dengan kertas yang dilapisi oleh lilin atau parafin supaya kelihatan bagus. Sekarang ini banyak juga plastik atau styrofoam untuk membungkus. Mustinya, barang-barang tersebut tidak boleh keluar dari pabrik langsung digunakan. Karena masih ada dioxin di sana," ujar Dr. Gindo.

Seharusnya, ujar Gindo, sebelum keluar dari pabrik, bahan-bahan tersebut tidak ada dioxin. Caranya, setelah dicuci kemudian dikeringkan lalu dipasarkan. "Di Luar negeri, styrofoam atau kantong plastik yang biasa untuk menkaver makanan (wrapping) selalu dicuci dahulu sebelum dipasarkan," ungkap Dr. Gindo.

Sulit mendeteksi dioxin

Sampai saat ini, untuk mendeteksi apakah suatu makanan sudah mengandung dioxin atau tidak sangat sulit. Indonesia, katanya belum mampu untuk menganalisa. Sebab dulu pernah ada makanan yang masuk ke Indonesia apalah mengandung dioxin atau tidak, kita mengalami kesulitan untuk mendeteksinya. Hal ini disebabkan karena kemampuan laboratorium yang kurang mendukung.

Saat ditanya saat kapan orang pertama kali mengkonsumsi makanan yang sudah tercemar dioxin hingga ia terjangkit kanker, Dr Gindo tidak bisa memastikan. Sebab kata Dr. Gindo, semuanya tergantung dari jumlah yang telah ia konsumsi. Semakin sering ia mengkonsumsi makanan yang dicurigai terkontaminasi dioxin, sangat mudah ia terjangkit kanker. "Akibat mengkonsumsi makanan yang sudah tercemar dioxin, kemungkinan penyakit kanker yang diderita bisa bermacam-macam bentuk seperti kanker payudara, peranakan, paru-paru, lever, pankreas, otak atau tulang. Dioxin tidak bisa dinetralisir baik oleh tubuh, obat atau pemanasan.

Banyak negara di dunia tidak mampu menganalisa, baik jumlahnya maupun kerentanan ternak atau manusia yang memakan bahan makanan yang sudah tertular dioxin. Cara yang terbaik terhindar dari kanker, pesan Dr Gindo, hindari makanan yang sudah dicurigai terkontaminasi dioxin. hal yang juga dikemukakan oleh David Carpenter dari Universitas Alabama, AS, saat mengomentari hasil penelitian tersebut. "Kami tidak meminta orang untuk jangan memakan ikan. Yang kami minta, hindari mengkonsumsi ikan yang sudah tercemar." (fn/vs/gz/cbn) www.suaramedia.com
Axact

Wanita Inspiratif

Terimakasih telah mengunjungi blog ini, semoga bermanfaat dan bisa berbagi

Post A Comment:

0 comments: